Berawal dari miss time gara-gara antri beli nasi padang n cemilan, kamis malam itu. Pk 19.50 posisi masih di daerah suci, sementara kereta malam berangkat pk 20.00. Sebenarnya sih hopeless tiba di stasiun Hall Bandung dalam 10 menit. Tapi saya yakinkan diri dan teman-teman saya bahwa “Kita berangkat malam ini dengan kereta api..”.
“Alhamdulillah…” ujarku, sesampainya di stasiun Hall. Saat melirik jam, waktu masih menunjukkan pk 19.55. Haha..lucu, ternyata belum terlambat. Maklumlah, angkutan umum tadi ngebutnya bikin jeleng. Setelah duduk di kereta, tanpa basa basi langsung menyerbu nasi padang yang tadi dibeli.
Sepanjang perjalanan di kereta, banyak pemandangan yang dilihat. Mulai dari orang yang sibuk mencari tempat duduk kosong, portir yang mengangkut barang, lalu lalang penjual makanan dan minuman, kondektur yang memeriksa tiket, pengamen dengan irama musik, sampai suara gesekan rel dan roda kereta yang memecah keheningan malam itu.
Yang lucu, kami berkenalan dengan seseorang yang tiba-tiba tertidur ala prototype pameran kaus kaki. Sepertinya kondisi malam yang mengharuskan orang itu istirahat, sementara space untuk berbaring tidak ada, jadi posisi kakinya tertahan sejajar dengan jendela kereta (hm..!).
Tak berapa lama, saya juga tertidur karena kepala pusing dan perut mual. Mungkin karena faktor nasi padang tadi yang over dosis ya (kebanyakan)?
Akhirnya tibalah di stasiun Solo pukul lima pagi dan segera kuberwudhu untuk shalat Shubuh. Jumat pagi itu, kami berjalan keluar area stasiun Balapan mencari penjual makanan. Maklum perut sudah berbunyi minta diisi. Ternyata, tidak tampak penjual makanan, terpaksa…minta tolong abang becak mengantarkan kami ke penjual makanan.
Makanan khas kota ini “TIMLO”. Rasanya? Hm…seperti makan sop soto, tapi penuh dengan jeroan sapi… Wah, perutku berbunyi tanda kenyang. Segera saja bergegas membayar dan mengejar bis yang lewat, karena hari ini kami diundang datang ke rumah teman kami. Teman kami ini tinggal di Bulukerto, satu desa kecil di kaki gunung Lawu kota Wonogiri.
Menuju ke rumah teman kami ini ternyata membutuhkan waktu yang lama. Bayangkan saja setelah 10 jam berkereta dan 2 jam dalam bus, musti berlanjut dengan mobil ‘preman’ sekitar setengah jam. Gimana nggak pegel pantat ya?
Finally….sebelum jumatan tiba juga di rumah teman kami ini. Senangnya disambut ramah dan welcome oleh keluarganya, tapi sayang saya enggak begitu mengerti obrolan mereka. Maklum…bahasa yang dipakai bahasa Jawa. Kpiye to?
Siang itu, tanpa sengaja saya ketiduran..dan tiba-tiba bangun ditawari makan nasi jagung. Hehe..rasanya seperti makan tepung (amilum). Untung saja ada pindang ikan (orang Sunda sih bilang ikan deles), jadi nambah deh selera makan.
Sorenya, kami berkeliling kampung, naik turun gunung dan lembah. Sampai melihat-lihat goa. Goa Resi namanya, goanya kecil dan hanya satu mulut untuk masuk ke sana. Sayang tidak ada cerita tentang goa ini. Katanya sih konon goa ini sisa peninggalan jadul.
Menjelang magrib, akhirnya bisa mandi juga.. Brr..airnya dingin sekali, berasa dihujani es.. Yah..beginilah hidup di gunung. Dingin bo! Malamnya bulan terlihat penuh menerangi rumah dan jalan. Angin dingin dan sekali-sekali terdengar suara binatang berderik. Terasa sekali keheningan alam pegunungan. Saya sempat berdecak kagum dan terbawa dengan susanana ini. Untung saja saya diajak makan gado-gado special buatan orang Lawu hehe… Sambil berdiam, menghibur diri memainkan jemari di atas piano… Tat tit tut.. Lagu apa y g jelas begini???
Belum sempat mandi dan sarapan, sabtu pagi saya diajak meluncur bersama teman saya dan keponakannya menuju Sarangan. Sarangan itu nama daerah (dekat dari Gunung Lawu) berupa danau yang sengaja dibuat untuk menarik wisatawan. Pemandangannya indah, belum terjamah orang, dan alamnya asri. Masih terlihat deretan pegunungan dan hutan. Kami berkeliling Sarangan sambil berkuda bersama keponakan teman saya. Tak henti mata saya memandang tak berujung di kanan dan kiri..Wah..indahnya..
Huf! Lagi-lagi perutku berbunyi, terpaksa saya sarapan dengan menu yang ada. Disini memang menu utamanya sate kelinci. Seumur-umur, belum pernah saya coba, tapi apa boleh buat..lapar! Hm..ternyata enak juga seperti sate ayam, tapi lebih empuk hehe..
Sepulang dari Sarangan, kami mampir ke sebuah desa, Njeblok namanya. Desa ini letaknya terpencil, ada di antara perbukitan tertutupi oleh rentetan hutan pinus. Terlintas dalam benak, kalo desa ini seperti mimpi. Jadi ingat lagunya Katon yang negeri di awan. Jadi boleh juga ni desa di sebut negeri di atas awan…
Ternyata masyarakatnya ramah. Tampaknya mereka tidak pernah bentrok. Liat saja ada masjid dan gereja. Rata-rata hampir semua orang disini bekerja sebagai petani. Menuju ke negeri ini (Desa Njeblok), sudah ada jalan aspal. Hanya saja jalannya kecil dan hampir tidak terlihat karena tertutupi oleh tebing-tebing yang besar.
Udara dingin bercampur terik matahari, selain bikin kulit hitam, kerongkongan juga terasa gerah minta diisi. Tanpa bisa menahan lama-lama, langsung aja beranjak dari desa tadi buat mampir cari es dawet. Ahhhh….segarnya…! Puas menyegarkan mulut dan meregangkan badan, kami pun pulang (hehe..berasa rumah sendiri ya…). Ternyata siang itu, teman saya harus mencari rumput gajah (kalo orang bilang mah ‘ngored’). Saya penasaran dan mau menemani teman saya ngored untuk makan ternak. Ternyata lokasinya asyik…di balik bukit. Lumayan juga perjuangannya, harus naik dan turun gunung sambil memikul rumput gajah. Berat lho satu pikul aja ada sekitar setengah kuital..weih..kuat ya..
Yeepee..akhirnya minggu pagi bisa jalan-jalan menuruni kaki Gunung Lawu, mencari angkutan menuju terminal Purwantoro. Hari ini kan memang mau ke Yogyakarta hehe.. Sepanjang jalan, saya terkantuk-kantuk sambil mendengarkan pengamen nyanyi lagu Jawa. Kami musti bersabar, ternyata menuju kota Djokdja perlu waktu sampai siang hari.
Tiba di Yogyakarta, rupanya perut kecil saya ini tidak kuat lagi menahan lapar. Tanpa memilih, langsung duduk menunggu mie ayam yang lokasinya persis di samping terminal Giwangan. Hm…rasanya enak!! Mienya besar seperti spagheti dengan merica di dalam rongganya. Juga potongan ayam yang besar. Yummy! Jadi lapar mata hehe..
Selesai menyatap mie ayam yang enak ini, kami berjalan ke terminal Giwangan dan segera menaiki bis kecil untuk menuju ke pantai Parang Tritis. Orang disini suka mengyingkat kata bisar cepet, makanya Parang Tritis di bilang Paris.
2,5 jam kemudian, kami tiba di Paris. Tak menunggu lama, kami pun langsung berlari menuju pantai. Dan…byur…akhirnya pantai kami datang jua…!!! Kerinduan untuk melihat pantai saat ini pudar sudah. Pemandangan segar dan haru membuat kami asyik di pantai hingga malam tiba..
Keesokan hari, setelah menyantap sarapan..kami kembali ke terminal Giwangan untuk memesan tiket bis biar bisa balik ke Bandung. Masih ada ni waktu luang, kami habiskan untuk jalan-jalan ke Malioboro sambil membeli penganan buat oleh2. Macam-macam, ada bakpia, lalu yangko, batik, tas, sampai asesories..