sensasi dunia wisata dan petualangan

Junghuhn Inspirasiku

Catatan Perjalananku 13 April 2014 bersama komunitas Mata Bumi

Pagi itu, aku ada di tempat yang bernama Cagar Alam Junghuhn. Terbesit di pikiran, ” Siapa itu Junghuhn?”, “Bapak kina-kah?”. Penasaran, mulailah masuk ke kawasan itu. Di sana terlihat bangunan putih seperti tugu. Bagian bawah seperti kotak dan bagian atas meruncing seperti pena. Disitu tertulis nama “Dr. Franz Wilhelm Junghuhn”. Melihat lagi bangunan itu, ada keterangan lain “Mansfeld/Magdeburg 26 Oktober 1809” dan “Lembang 24 April 1864”. Baru tersadar kalau yang seperti ini biasanya makam. Tapi siapakah dia?

Kedua kalinya datang lagi ke tempat ini bersama teman-teman dari komunitas Mata Bumi. Sambil duduk santai, Kang Hawe Setiawan menceritakan bangunan putih ini dan Junghuhn. Memang benar, bangunan ini adalah makam. Namun bentuk makam berbeda. Bagian bawah yang berbentuk kotak itu perlambang al kitab, sedangkan bagian atas yang meruncing menyerupai pena adalah simbol poros dan bumi (seperti altar). Sedangkan Dr. Franz Wilhelm Junghuhn atau yang biasa dikenal Junghuhn, adalah seorang perintis tanaman kina di Indonesia.

Dari penuturan Kang Hawe, barulah aku tahu bahwa Junghuhn itu pelopor budidaya kina yang membuat Bandung terkenal sebagai ibu kota kina. Kenapa? Karena Bandung menjadi kota penyumbang kina dan pelestari wabah kina. Sebutlah daerah bernama Pasir Junghuhn (Bandung Selatan), terdapat perkebunan kina yang pertama kali ada di Jawa Barat. Sejak tahun 1856 hingga akhir hayatnya (1864), Junghuhn mengelola perkebunan tersebut.

Lebih lanjut lagi, Junghuhn adalah ilmuwan besar di abad ke-19. Beliau punya minat tersendiri di bidang botani dan biologi. Banyak karya yang diberikan Junghuhn seperti sketsa, panorama, katalog, litografi, fotografi, klimatologi, atlas, geologi, matra tumbuhan/batuan/iklim. Salah satu karya yang terkenal dalam buku “Java” berupa tulisan beliau tentang tatanan alam, gunung api, iklim dan geografi pulau Jawa.

Sejarah menuliskan bahwa beliau ini adalah dokter berkebangsaan Jerman yang bertugas di Hindia Belanda. Gaji yang diterima, digunakan untuk berkelana dan melakukan penelitian yang terurai dalam cerpen dan lukisan, untuk setiap perjalanan, arah, waktu, dan keadaan. Alat yang digunakan pun sangat sederhana, hanya kompas, seksta (alat ukur bintang), mistar dan pulpen.

Hingga saat-saat terakhirnya, Junghuhn yang mengidap penyakit paru-paru basah, meminta sahabatnya Dr. Groneman membukakan jendela. “Aku ingin berpamitan pada gunung-gunungku, aku ingin memandang hutan-hutan yang hijau, aku ingin menghirup udara pegunungan yang terakhir kalinya…”

Di tempat inilah di Jayagiri, Junghuhn dimakamkan, sesuai dengan permintaan beliau. Makam ini dirancang oleh Groneman. Tidak jauh dari makam Junghuhn, terdapat pula pusara Dr. Johan Eliza de Vrij. Dia adalah kolega/teman Junghuhn berdiskusi dan berdebat mengenai bibit, lahan dan metode budidaya kina yang tepat.