sensasi dunia wisata dan petualangan

Gunungan Djokdja

Tema tur kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Setelah ngedadak tur, kami kembali menapaki kota Yogyakarta. Lagi-lagi kota ini yang jadi pilihan. Jujur saja, kota ini jadi kota kedua setelah Bandung yang menarik perhatian kami. Entah karena situasinya, karena kenyamannya, ataupun masyarakatnya. Kota ini terkenal dengan sebutan kota wisata.

Jam 7 malam, di terminal Cicaheum Bandung kami menunggu bis yang akan membawa kami. Mana ya? Oh itu dia..Kramat Jati!

Dengan berbekal roti kadet, snack kecil, coklat, permen, air mineral dan nasi goreng, kami bersemangat untuk melancong. Sepanjang jalan tak hentinya kami bercakap-cakap dan tertawa ria. sampai saat lapar menjemput perut untuk melahap nasi goreng. Hm..yummy! Nasi goreng Ling punya hehe..

Tiba di terminal Giwangan sekitar jam 4 pagi. Kami berjalan (saya lupa g tau kemana arahnya) dan mampir di masjid untuk shalat Shubuh dan menumpang mandi gratis hehe… Chessss..sueger deh..jadi kembali semangat melancong.

Tujuan pertama kami pasar Ngasem. Ada yg ingin sih dikunjungi disini..(sebenarnya cari makanan yang suka ada di pinggir jalan ini buat sarapan..). Menuju ke pasar Ngasem sengaja kami lewat kampung turis (karena saya penasaran sih hehe). Lokasinya di jalan Prawirotaman. Ternyata biasa saja seperti jalan sebelumnya. Cuman, banyak bule..n dah pada jago ngomong bahasa indonesia m jawa..wahhh..kalah y kita..

Di pinggir jalan di pasar Ngasem, kami berhenti sambil menikmati sarapan nasi ketan. Oh la la..rasanya beda dengan ketan di Bandung. Huf…apa boleh buat berhubung lapar ya…makan saja jeng..

Tak jauh dari pasar Ngasem, terlihat bangunan aneh tak beratap seperti bekas reruntuhan tapi terhalang atap-atap jongko pasar Ngasem. Penasaran, masuk kesana dan ternyata betul..ada bangunan bekas reruntuhan. Tidak ada info tentang bangunan ini, kami hanya menemukan plang yang bertuliskan “Cagar Budaya Situs Pesanggrahan Tamansari”. Oh..situs toh..tapi kok runtuh y? Kalo melihat lokasi di utara tampak keraton ngayogyakarto (waduh..tolong di-benar-kan dong..) dan di selatan ada gunung merapi. Lokasi situs ini persis berada diantara keduanya. Tampak tembok berlubang-lubang, juga bangunan tak beratap. Bahkan tangga pun bikin syut..berasa badan terayun.. Kami mengira-ngira bahwa dulunya situs ini adalah tempat tinggal semacam istana, tapi hancur karena kondisi alam (mungkin merapi meletus, ataupun tsunami yang baru saja terjadi setahun silam).

Berjalan-jalan di reruntuhan tamansari sempet bikin deg-deg-an. Pasalnya reruntuhan ini punya ruangan cukup luas, tapi jalur penghubung ruangan yang satu dengan yang lain kecil. Seperti lorong yang muat hanya dua orang saja. Terbuktinya saat kami sedang berfoto, ada orang mau lewat agak susah musti menunggu kami selesai berfoto dulu hehe….

Belum puas dengan situs ini, kami menuruni tangga menuju jalan kecil. Jalan ini kemudian sedikit membesar sampai akhirnya tiba di mulut terowongan. Teman kami bilang, jangan berpikir kotor n ngelamun, nanti g bisa keluar dari sini. Wedew..terang saja saya sempet ciut, ragu-ragu untuk melewati lajur ini. Tapi karena yang lain sudah pada masuk, saya mengikuti akhirnya mengikuti. Jalan disini mirip seperti jalan di lorong gua. Hanya suasananya terang (temboknya bercat putih) dan lebar, juga udara bebas keluar masuk.

Lumayan cukup panjang juga, sampai akhirnya tiba di ujung mulut terowongan. Oh..ternyata lorong ini menghubungkan situs Tamansari dengan istana air (water castle). Hm..berarti benar kalo para tamansari ini adalah tempat tinggal, dan istana air adalah tempat pemandian penghuni taman sari. Ingin rasanya bertanya pada local guide yang ada disana tentang istana air ini. Tapi sayang, local guide-nya terkesan memaksa. Jadi y sudra-lah lewat sambil iseng muter-muter n sedikit mengintip. Wah…pemandian keluarga penghuni taman sari ni..aksennya indah, jadi terlihat luas.

Huf! Lagi-lagi perut saya ini tidak bisa kompromi. Berbunyi sejak dari tadi di terowongan. Sempet bikin kaget sepanjang jalan. Apalagi saat mata menatap menu rumah-rumah makan di wijilan yang ternyata berjajar makanan khas kota ini, gudeg… Karena saya kurang suka gudeg (too sweet!), kami mampir di warung pecel dekat Alkit (Alun-alun Kidul) untuk menyantap sepiring nasi pecel. Wah..enak seger..deh.

Perjalanan pun dilanjutkan menuju Benteng Vrederburg. Benteng ini lokasinya enggak begitu jauh dari alkit. Tinggal jalan kaki sekitar 15 menit, sudah tiba di jalan besar dekat kantor pos (waduh..lagi-lagi lupa nama jalan). Benteng ini bercerita seputar zaman perjuangan rakyat Yogyakarta. Didalamnya ada dua jajar bangunan dan patung meriam. Lalu ada semacam miniatur diorama Serangan Umum 1 Maret 1949, museum dan juga prasasti. Tiket masuknya juga murah, hanya 750 perak.. Wah enggak rugi deh..! Di depan benteng pun (pinggir jalan besar) ada semacam monumen peringatan SU 1 Maret.

Dan adzan Jum’atan pun bersahutan. Sudah waktunya bagi para bujang untuk Jum’atan. Saya duduk di halaman Masjid Agung Kraton, menunggu yang sedang jum’atansampai ketiduran.. Zzzzz…

Tak berapa lama terbangun karena suara orang bubar jum’atan mulai terdengar. Kami melanjutkan perjalanan kembali untuk melihat hiruk pikuk di jalan Malioboro. Sambil larak-lirik, kami mampir ke toko-toko outdoor untuk membeli sesuatu (heheh..). Awalnya hanya niat membeli sleeping bag eh tak tahunya, malah lanjut ke sandal gunung. Maklum..kami ini pakai sepatu!

Setelah dapat sleeping bag, spot selanjutnya Kaliurang. Penasaran kan? Ntar diceritain deh. Menuju ke sana, sebenernya bisa naik bis dari Giwangan. Tapi berhubung posisi kami sudah di Malioboro, jadi tinggal mencari bis yang ke arah UGM, lalu berganti bis menuju Kaliurang.

Di UGM, kami berhenti untuk berfoto persis di depan gedung dan tulisan UGM. Jepret sana jepret sini. Hm..kok kurang puas ya? Sambil berjalan, karena penasaran dengan suasana UGM, kami berjalan kami dan mampir ke sebuah toko yang ramai. Wah..pantas saja ramai, toko serba ada sih. Mirota namanya, dan ups..ada bakery-nya!

Rupanya mata ini tak kuat menahan godaan untuk melirik roti-roti yang berteriak minta dibawa. Tak kuasa akhirnya, tangan mulai berayun ambing mengambil beberapa kerat roti yang dipajang.. Sepanjang jalan tak hentinya mulut saya menganga dengan roti yang enak ini hehe..

Sebenarnya perjalanan ke Kaliurang hanya memakan waktu sekitar 1 jam, tapi karena menggunakan angkutan umum bis, jadi harus menunggu sekitar 2 jam untuk sampai ke tujuan. Waduh..gimana g panas ni pantat. Untung ada seniman yang mengamen dengan suara yang pas di telinga. Lagunya “..tidurlah kau dipelukku..dipelukku..dipelukku..”. wah beneran deh bikin tidur si gue…

Kaliurang ini tempat wisata yang ada di dataran tinggi. Disana ada semacam taman, dan air terjun. Sayang, saat kami tiba disana -orang sini bilang grojokan- waah! air terjunnya kecil, kayak air dari keran hehe.. Rupanya sedang musim kemarau.

Di grojokan ini ada jalan ke atas. Jalan ini ke arah menara pantau gunung Merapi. Wah..penasaran! Tidak jauh sekitar 10 menitan klo pelan karena cukup menanjak. Menara ini tinggi juga. Ada dua lantai. Kami menaiki tangga yang ada di sampingnya. Kok berasa jadi akrobat sirkus ya. Lutut sempet gemeteran karena tak biasa menaiki tangga yang vertikal dan tinggi. Tapi untunglah ada tempat seperti basecamp untuk memantau Merapi. Makanya tak aneh klo disebut menara pantau.

Dari sini bisa terlihat gunung Merapi yang sudah gundul, tertimpa lelehan lahar panas. Warnanya saja abu-abu. Tampaknya tidak ada kehidupan. Yang ada hanya gunungan lahar dingin dan lumpur yang tandus. Disini pula persis di kaki Merapi, terlihat lintasan hutan yang masih hijau. Mungkin ini tempat dimana mbah Marijan berada -pikir saya-.

Sudah sekitar 2 jam berada di menara pantau, tapi tetap saja mata ini tak beranjak. Entah mengapa hati serasa damai..peace..!! Namun waktu jualah yang mengharuskan kami berjalan menuruni menara pantau Merapi dan keluar dari grojokan. Juga karena suara perut -lagi-lagi perut saya berbunyi-. Makan apa y? Tanpa lama-lama, kami memesan tongseng kambing.

Berkeliling..berkeliling..dan berkeliling.. Di atas taman, kami melihat ada semacam stage/panggung, yang mungkin tempat ini digunakan untuk konser/live music. Berjalan..berjalan..dan terus berjalan..sambil mengenali kawasan ini. Disini banyak sekali jongko-jongko yang menjual makanan, baju sampai roll film. Lalu ada rumah-rumah, tampaknya memang disewakan. Tak terasa waktu sudah petang. Mie ayam pun jadi pilihan makan malam.

Di tengah jalan, teman saya berhenti menghadap seorang ibu. Oh..rupanya sedang menawar. Apa y? Eh..pisang muli yang kecil. Teman saya ini membeli pisang satu tandan. Busyet..enggak kira-kira ya. Dia bilang sih untuk ngemil. Dan benar saja, pisang satu tandan tadi, lenyap dalam semalam. Saat malam tiba, kami tidur berselimutkan sleeping bag sambil menerawang melihat langit di atas yang kian menghilang seperti hilangnya pisang tadi..

Selepas Shubuh, kami pergi ke Taman Wisata Plawangan Turgo. Taman ini lokasinya tidak jauh dari kaliurang. Berjalan kaki sambil menghirup udara pagi..brr..dingin! Udara menjadi sejuk menyelimuti saat kami melewati jalan setapak menuju goa Jepun (gua Jepang). Kami mengelilingi daerah ini sambil tak henti-hentinya melihat gunung Merapi. Jalanan pun semakin menanjan dan melingkar.

Saya tak kuat lagi melangkah, dan tiba-tiba teman saya membawa diri saya dipundaknya. Saya digendong melewati jalanan sempit, menanjak dan melingkar sampai tiba di mulut sebuah goa. Goa Jepun namanya. Goa ini peninggalan bangsa Jepang, jealslah dari namanya saja. Setelah beristirahat, kami berbalik arah keluar daerah ini. Saya masih tetap digendong di atas pundak teman saya. Wah tampaknya teman saya ini kuat juga menahan beban berat badan gembolan saya. Mau menapaki pejuang dulu mungkin ya..hehe..

Akhirnya, kami keluar dari area Plawangan. Sempet berfoto sebentar lalu berjalan kaki sampai ke bunderan di jalan besar. sambil menunggu bis, kami membeli tela-tela (singkong goreng bumbu) yang kebetulan mangkal disitu.

Tiba di Yogyakarta, langsung ngacir makan soto. Hm..enak. Lupa nama warungnya, tapi sotonya enak, dan jelas soto ayam. Badan sudah terasa lelah, seperti sore yang mulai pudar. Kami mencari penginapan untuk beristirahat. Tapi rupanya, setelah mandi, hilanglah lelah. Yang ada lapar! Ada menu khusus yaitu ayam penyet, tempe penyet, tahu penyet. Jenisnya sama seperti warung-warung makan kebanyakan, tapi ini spesial penyet. Hm…mak nyos! Enak bgt! Sampai-sampai saya tak bersuara karena enak.

Pukul 3 pagi saya terbangun karena lapar. Kebingugan sendiri, akhirnya memutuskan untuk membangunkan teman saya. Sedikit memaksa akhirnya kami keluar mencari makanan. Kami beruntung menemukan angkringan di dekat pasar Sentul. Angkringan ini punya menu khusus. Nasi kucing! Nasi kucing ini nasi yang dibungkus dalam ukuran kecil (paling hanya dua genggam nasi) dilengkapi dengan lauknya sambal teri atau oseng tempe ataupun pindang. Harganya murah banget. Satu pincuknya hanya 500 perak. Wow..belum lagi teman makannya seperti goreng ayam (bagian kepala, ceker), sate kerang, sate usus, sate telou puyuh, gorengan (bala-bala/bakwan, tempe, gehu/tahu). Juga minuman pelengkapnya, teh jahe atau kopi. Hm..menu baru dalam list-ku nic..

Selesai mandi pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Ketep. Kami meminjam sepeda motor untuk menuju ke sana. Ketep ini merupakan kawasan wisata yang berada di daerah setelah Magelang. Hampir sana fungsinya seperti menara pantau di Kaliurang. Di sini bisa terlihat jelas pegunungan seperti gunung Merapi, gunung Merbabu, gunung Slamet. Kalau sudah cerah sekali, bisa terlihat gunung Sindoro dan gunung Sumbing (kata orang sini). Kawasan ini termasuk kawasan pertanian dan areal perkebunan teh, karena lokasinya di dataran tinggi. Udaranya dingin dengan matahari yang terik, biasanya bikin kulit jadi hitam.

Disini juga kami bisa melihat gunung Merapi dengan menggunakan teropong untuk mengintip gunung lebih dekat. Selain itu, ada juga museum dan audiovisual tentang gunung Merapi, yang menceritakan tentang bagaimana proses gunung Merapi ini meletus. Hampir 3 jam kami duduk dan bernyanyi disini. Perasaan seperti terbawa angin.

Waktu sudah lewat siang, saatnya kami melanjutkan perjalanan ke Kopeng. Kopeng ini daerah wisata yang persis ada di kaki gunung Merbabu. Disini banyak sekali petani yang menanam tanaman hias, strawberi, juga buah-buahan. Kopeng ini mirip sekali dengan desa wisata, selain terdapat petani, disini juga tersedia penginapan dan rest park.

Lagi-lagi masuk areal pegunungan, karena penasaran ingin melihat gunung Merbabu dari dekat. Ternyata, gunung Merbabu juga sama dengan gunung-gunung yang lain, areal pertanian. Cuman bedanya di Merbabu ada menara pemantau. Sepertinya menara pantau gunung Merapi deh.

Wah..karena hari mulai berajak petang, kami memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Tapi kami ingin mampir dulu ke kota Salatiga yang terkenal dengan basonya. Dan benar saja, basonya enak! Beda dengan baso yang pernah tercatat dalam lidah.

Hari semakin petang, kami bergegas pulang. Dan lagi-lagi di Ambarawa berhenti karena ingin mencoba penganan serabi khas daerah ini. Hm..lumayan, tapi tak seenak yang di Bandung ya hehe.. Setelah berputar-puter selama 4 jam, akhirnya Yogyakarta di depan mata. Wah..perjalanan hari ini melelahkan sekali. Pantat aja dah enggak berbentuk!

Hari ini, hari terakhir bagi kami untuk tamasya di Yogya. Kesempatan ini tak disia-siakan. Kami pergi ke Gabusan untuk membeli oleh-oleh. Gabusan ini adalah sentra kawasan kerajinan dan seni khas Yogya. Disini bisa dicari barang-barang, mulai dari kayu, kulit, rajutan, rotan bahkan tembikar.

Saya sendiri membeli loro blonyok sebagai oleh-oleh untuk di Bandung. Loro blonyok itu sepasang patung penganten Jawa. Bisa Jawa Solo ataupun Jawa Yogya (lihat aja pakaian dan mahkotannya). Loro blonyok ini ada yang dibuat dari kayu, ada juga yang dari keramik. Ukurannya macam-macam, mulai dari yang kecil selebar jengkal tangan, sampai ke yang besar setinggi anak kecil. Wah…! Hebat ya..!

Usai dari Gabusan, kami mengunjungi pasar Bringharjo untuk membeli batik. Pasar ini sama seperti kebanyakan pasar tradisional yang penuh dengan hiruk pikuk orang-orang ditambah bahasa Jawa yang agak sulit mengerti (karena saya bukan orang Jawa). Tak lupa, di Malioboro kami habiskan waktu untuk berputar mencari oleh-oleh dari Dagadu, seperti kaos, top, tas dan gantungan kunci.

Esok paginya, kami packing untuk pulang kembali ke Bandung. Wah..ternyata sama saja penuhnya. Saya mengunjungi teman-teman di Yogya sebelum akhirnya pulang ke Bandung. Dan..ups..angkringan tetap dong saya beli untuk oleh-oleh di jalan. Hehe..