sensasi dunia wisata dan petualangan

Bermain Layang-layang

Coba tebak.. apa yang saya pegang?
Yaa.. betul layangan atau layang-layang.

Hari ini saya sedang jalan lintas kebun. Dan melihat ada yang tersangkut di antara daun dan ranting pohonan. Tanpa pikir panjang mecoba meraih yang tersangkut tadi. Waaah ternyata layangan.

Cerita punya cerita, layangan dikenal pada masa pemerintahan dinasti Han. Saat itu Jenderal Han Hsin dari militer Cina menerbangkan layang-layang sebagai strategi mengukur jarak untuk memasuki kota melalui lorong dari bawah tanah.

Di negara Korea, Jenderal Gim Yu Sin (era dinasti Silla) menggunakan layang-layang untuk menerbangkan bom api sebagai tanda bagi para prajuritnya.

Pada abad ke-7 layang-layang dibawa biksu Buddha ke Jepang sebagai jimat untuk mendatangkan roh jahat dan doa agar hasil panen berlimpah.

Layang-layang di Indonesia dikenal pada saat festival layang-layang yang diikuti pembesar kerajaan. Festival ini tercatat pada sejarah melayu (Sulalatus salatin) di abad ke-17.

Wolfgang Bieck (pecinta layang-layang dari Jerman dan penulis artikel “The First Kiteman”) menyebutkan bahwa layang-layang pertama yang diterbangkan manusia ada di pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Hal ini mengacu pada sebuah lukisan di Gua Sugi Patani yang menggambarkan seorang manusia sedang menerbangkan layang-layang. Diperkirakan lukisan tersebut telah ada sejak era Epi-paleolitik (periode Mesolitikum).

Ben Franklin dan Alexander Wilson menggunakan layang-layang untuk memahami elemen elektronik. Wright bersaudara pun mengadakan riset dengan layang-layang yang berkontribusi untuk pengembangan pesawat terbang.

Layang-layang Rogallo’s flexiwing (1948) dan layang-layang Jalbert’s parafoil (1964) menjadi cikal bakal olahraga udara modern.

Kalau dulu layang-layang pernah digunakan sebagai pengusir hama. Kini menjadi ajang olahraga, rekreasi dan hiburan. Apalagi di masa pandemi, saking asyiknya bermain layangan jadi lupa waktu.