Baru saja hari minggu kemarin bergowas gowes ke saguling. 35 km eh ternyata 45 km coy, melelahkan juga (bagi yang awam). Masih berasa pegal badan dan kaki, maklum tanjakan dan turunan yang dilewati itu panjangnya 128 km. Busyeet!! Belum lagi batuk dan bersin yang mengusik. Saya pun sampai terkapar beberapa hari untuk istirahat.
Berangkat pukul 5.30 pagi menuju rumah Gustar untuk meminjam sepeda gunung miliknya. Bersama dia, saya melaju menuju ke alun-alun. 20 menit kemudian ketika tiba, tampaklah mobil pick up dengan neng Ulu yang sudah lebih dulu tiba. Tanpa berbasa-basi lagi, saya yang kelaparan dari rumah mengajak Ulu dan Gustar makan pagi.

Kami yang sedang asyik-asyik menikmati sarapan pagi, harus berangkat, karena Inda, Hamda, pak Moro sudah di depan mata. Akhirnya duduklah kami semua bersempit-sempit ria di bagasi mobil pick up dengan deretan sepeda-sepeda gunung, walaupun sebenarnya di jok depan kosong. Mungkin pada enggan bergabung dengan driver seorang.
Sepanjang jalan menuju Kota Baru Parahyangan (titik awal buat ngegowes), pick yang membawa kami ini melewati jalan utama Jendral Sudirman. Banyak mata memandang seakan bertanya hendak kemanakah ini?
Lucu juga karena di samping kiri mobil ini, banyak para pesepeda menggowes sepeda, sedangkan kami dan sepeda gunung seperti menumpang mobil pick up. Wah..perut ini tak sanggup lagi menahan rintihan yang sedari tadi menjerit minta diisi. Saat itu juga, saya membuka kembali bungkusan nasi yang terpotong di Alun-alun tadi. Dan ternyata, ada yang lapar juga.Ulu yang berbaik hati pun memberikan bungkusan sarapannya pada Hamda. Wah..baik ya..hehe.
Tak peduli keadaan atau bau apapun, kami berdua asyik menyantap nasi bungkusan sambil dikomentari oleh kawan-kawan.
Bale Pare
Bale Pare, titik star pertama bersepeda kali ini. Kang Tiyo dan istrinya ceu Nita sudah menunggu, tapi sebentar, kawan-kawan ini sedang lodging dulu untuk bekal bersepeda. Maklum selama perjalanan khawatir tidak ada toko kecil/warung.

Kami menggowes dari Bale Pare menuju ke belakang komplek Kota Baru Parahyangan. Melewati jalan-jalan yang sedikit lebih ramai dari hari biasa dan menyapa jembatan Ariel yang jadi tempat favorit berfoto.
Setelah menanjak, tiba-tiba saja berbelok. Oh, rupanya menuju jalan desa, yang jalannya tidak sebagus jalan di komplek tadi. Kemudian berbelok lagi, melewati jalan kecil, sedikit berbatu dan sedikit becek. Akhirnya tibalah kami di sebuah daerah yang terlihat seperti danau/situ. Ternyata disini kami harus menyebrang dengan perahu. Sepeda-sepeda pun dimuat satu per satu dalam perahu bersama orangnya juga dong..
Saya dan Inda sempat berteriak karena perahu yang kami naiki ini bergoyang. Jujur saja, takut tenggelam. Tak lama mulailah terdengar suara motor untuk menggerakkan perahu.
Pemandangannya cukup indah. Hanya selama perjalanan, saya sempat khawatir perahu bocor, karena jarak permukaan air ke tepi atas perahu hanya setengah lengan saya. Inda pun mengatakan hal serupa.
Aliran Air menuju Danau Saguling

Sampai di tempat yang agak landai, perahu merapat dan kami harus turun. “Aaaah..!” Lagi-lagi terdengar suara menjerit karena perahu bergoyang.
“Fuuuh…menginjak bumi juga!, ujarku pada diri sendiri.
Disini kami melihat ada sebuah bangunan bulat dan besar, tanpa warna tapi berlubang dua. “Ini adalah bunker, dan disini lokasi latihan panah untuk tentara. Para tentara itu tiarap di atas tanah ini dan membidik anak panahnya ke pulau di sebrangnya sana. Setiap ada latihan, pasti wilayah ini ditutup, jadi tidak boleh warga sipil masuk atau melintas di aliran air danau ini” begitu menurut Kang Tiyo.

Kami yang penasaran masuk ke dalam bunker. Dan..hiii! serem juga ya. Bunker itu kosong melompong. Yang ada hanya dua lubang. Hamda pun mengatakan bahwa dua lobang itu matanya, karena dibawahnya ada mulut (gambar mulut di tembok). Hahaha…spontan kami tertawa.

Perjalanan dilanjutkan melewati tegalan-tegalan jagung yang sudah dipanen dan genangan air. Tiba-tiba saja saat jalanan sedikit berbatu, rantai sepeda Ceuceu tiyo….lepas. Kang Tiyo segera beraksi mengeluarkan senjatanya. Mulai dari perkakas..entah apa namanya, sampai sendok makan. Rupanya sendok makan ini berguna untuk melepaskan rantai sepeda.
Tak sampai 10 menit, rantai sudah bersatu, dan kami bisa bergowes kembali melewati tegalan, genangan air, lokasi pembuatan bata merah dan rumah-rumah penduduk. Sampai di ujung jalan, berbelok menuju jalan besar, yang ternyata baru saya sadar setelah melintas truk-truk besar. Wah, benar saja ini mah batujajar, kabupaten Bandung.
Kami harus bersaing dengan sepeda motor, mobil kecil juga mobil besar seperti truk-truk dan bus-bus. Belum lagi, melewati pasar Batujajar, beberapa kali tanjakan yang berbelok. Saya sendiri lebih was was karena hampir bertabrakan dengan pintu/kabin truk, saat pengemudi truk tersebut hendak turun.
Berhenti di perempatan Cimareme (sambil menunggu Ulu dan Gustar di belakang), saya bergegas Indomart untuk minum seteguk air. Wah…segarnya..!
Bio-Laktasari

Tidak jauh dari Cimareme (skitar daerah Gadobangkong), sampai juga di Bio-Laktasari. Disini ada peternakan sapi dan kambing, yang susunya diambil untuk dikonsumsi sebagai susu segar ataupun youghurt. Disini juga, saya terbelalak saat melihat ada sekumpulan rusa. Tanpa sengaja, hiks..tangan saya digigit saat mengelus rusa manis itu. Sakit memang, tapi untung saja tidak bertaring.

Selain rusa, ada juga srigala (entah jenis apa). Srigala-srigala ini dikandangkan, tapi tampaknya jinak. Oh..y…sudah makan ni karena terlihat onggokan sisa tulang-tulang yang tidak dihabiskan. Selain rusa, ada juga srigala (entah jenis apa).

Srigala-srigala ini dikandangkan, tapi tampaknya jinak. Oh..y…sudah makan ni karena terlihat onggokan sisa tulang-tulang yang tidak dihabiskan. Saat sedang asyik memotret, tiba-tiba saja salah seekor srigala naik ke tembok. Spontan, kami berjalan mundur dan berteriak. Tapi ternyata srigala ini hanya ingin dielus..hehe..Gustar dengan berani memegang kepala srigala tadi.
Dari cerita Kang Tiyo, bahwa pemiliknya memang senang sekali dengan binatang. Dulu ada ayam, juga angsa. Tapi saat flu burung, binatang tersebut tidak lagi ada disini.
Di dinding bangunan ini pun, banyak terdapat kenang-kenangan. Sepertinya anak-anak TK dan SD yang sering berkunjung kesini.

Lelah dan haus mulai melanda, segeralah kami memesan youghurt. Ada bermacam-macam rasa, mulai dari strawberry, mocca, vanila, sampai buah-buahan. Youghurtpun disajikan bersamaan dan..hm..enak tapi asam. Kami harus sedikit bersabar untuk dapat menyendok youghurt, karena youghurtnya masih beku.
Kang Tiyo dan istrinya hanya mengantar kami sampai disini. Kami belum beranjak, karena mata maish tertuju pada cara loading sepeda ke mobil sedan. Wah..hebat..bisa juga masuk mobil ya.
Cimahi ke Bandung??
Itu ucapan saya dalam hati. Perjalanan harus dilanjutkan. Kami semua dari Bandung neeh. Mulai deh bergerilya dengan sisa-sisa tenaga menuju Bandung. Banyak rintangan seperti jalanan ramai, padat, belum lagi angkutan yang tiba-tiba berhenti. Lampu stopan seakan menggembirakan karena kami bisa break sejenak.
Gowes dimulai saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Kami menggowes lebih kencang menuju tempat makan. Wah..rupanya rasa lapar mengalahkan rasa lelah ya..

Tibalah kami di timbel Ciliwung. Tanpa pikir panjang, menyandarkan sepeda dan mengantri ambil piring. Tak tanggung-tanggung, saya juga mengambil makanan porsi supir. Ha..maaf, lapar!
Usai makan, Hamda berpisah hendak menuju Dago. Kami berlima menuju arah buahbatu. Tiba-tiba hujan rintik-rintik mulai membasahi tubuh kami. Kami pun menggowes lebih kencang seperti berlari mengikuti arus lalu lintas lebih cepat dari kendaraan bermotor. Sampai si perempatan buah batu, Inda dan pak Moro berbelok.
Tak lama dari perempatan, saya dan Gustar say goodbye karena disini lokasi pertama kali start kami. Dan Ulu-lah yang harus melaju terus sendirian menuju Astana Anyar. Sampai jumpa kawan..!
